Keutamaan Seorang Muslim Seperti Pohon Kurma
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Keutamaan Seorang Muslim Seperti Pohon Kurma adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan الجمع بين صحيحين (Al-Jam’u Baina As-Sahihain), sebuah kitab yang berisi Kumpulan shahih Bukhari dan Muslim karya Syaikh Yahya bin Abdul Aziz Al-Yahya. Pembahasan ini disampaikan oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. pada 29 Rabbi’ul Tsani 1440 H / 06 Januari 2019 M.
Download Kitab Al-Jam’u Baina As-Sahihain – Format PDF di sini
Download mp3 kajian sebelumnya: Bab Tanda-Tanda Orang Munafiq
Kajian Tentang Keutamaan Seorang Muslim Seperti Pohon Kurma – Al-Jam’u Baina As-Sahihain
Pembahasan kali ini sampai pada hadits ke-23 halaman 12 pada kitab Al-Jam’u Baina As-Sahihain.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” أَخْبِرُونِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ المُسْلِمِ، لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا، تُؤْتِي أُكْلَهَا كُلَّ حِينٍ ” قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ، فَلَمَّا لَمْ يَقُولُوا شَيْئًا، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هِيَ النَّخْلَةُ» فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاهُ، وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُونَ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُولَ شَيْئًا، قَالَ عُمَرُ: لَأَنْ تَكُونَ قُلْتَهَا، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا
Dari Abdullah bin Umar – semoga Allah meridhainya- ia berkata: “Kami berada di dekat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam lalu beliau bertanya: ‘Beritahukan padaku suatu pohon yang menyerupak seorang Muslim, daunnya tidak berguguran dan selalu berbuah setiap saat’ Ibnu Umar berkata: ‘Hatiku mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Tapi aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak berbicara sehingga aku tidak mau berbicara’ Ketika tidak ada yang menjawab, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Ia adalah pohon kurma.’ Ketika kami telah bangkit, aku berkata kepada ayahku: ‘Hai ayah, demi Allah, aku sudah menyangka dari awal tadi bahwa itu pohon kurma.’ Umar berkata: ‘Lalu kenapa kamu tidak berbicara?’ Aku berkata: ‘Karena aku melihat kalian saja tidak ada yang berani bicara? Maka aku juga segan’ Umar berkata: ‘Andai kau mengatakannya, itu lebih aku sukai dari ini dan ini.`”
Pada hadits ini Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat teka-teki. Ini menunjukkan bahwa diantara tata cara ta’lim yaitu dengan cara bertanya dan mengasah otak muridnya. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam membuat teka-teki bahwa ada sebuah pohon, pohon itu mirip seorang Muslim. Pohon apa itu?
Teka-teki ini termasuk mengasah kemampuan para Sahabat untuk memahami. Maka Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika melihat para Sahabat tidak ada yang menjawab, sementara Abdullah bin Umar yang masih kecil sudah menyangka bahwa itu kurma. Ini menunjukkan bahwa Abdullah bin Umar cerdas. Beliau tahu apa yang dimaksud pohon tersebut apa.
Tapi beliau sungkan karena melihat Abu Bakar dan Umar saja diam tidak menjawab. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa pohon yang mirip dengan seorang Muslim itu adalah pohon kurma.
Persamaan Pohon Kurma dengan Seorang Muslim
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa sisi persamaannya antara pohon kurma dengan Muslim:
Pertama, bahwa pohon kurma itu daunnya tidak gugur. Di kebun kurma, tidak ada satupun pohon kurma yang daunnya gugur. Apa maksudnya? Artinya bahwa pahala seorang Mukmin pun juga tidak gugur dikarenakan keimanannya itu. Makanya Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ ﴿٨﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya”.” (QS. Fushshilat[41]: 8)
Selama ia terus beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melakukan pembatal-pembatalnya, maka pahalanya tidak akan digugurkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam suatu riwayat, Mujahid dari Abdullah bin Umar meriwayatkan dengan lafadz:
إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ
“Ada salah satu pohon yang berkahnya seperti berkahnya seorang muslim.” (HR. Bukhari)
Kata Ibnu Hajar bahwa ini lebih umum lagi menjelaskan. Karena keberkahan kurma itu ada pada seluruh bagian-bagian kurma dan terus berlangsung pada seluruh keadaan. Dari semenjak tunasnya muncul sampai ia kemudian berbuah, semua bagian-bagiannya bermanfaat. Seluruh bagian kurma itu bisa diambil faidahnya. Batangnya bisa dipakai untuk membuat rumah, bahkan orang-orang Arab membuat gelas dari batang kurma dengan cara dipahat. Demikian pula daunnya, buahnya, bahkan bijinya saja MasyaAllah bermanfaat. Sampai kalau di Indonesia ada yang orang membuat kopi biji kurma.
Ini sama dengan keberkahan seorang Muslim. Keberkahan seorang Muslim umum pada setiap keadaan. Bahkan Muslim itu manfaatnya terus-menerus bukan hanya untuk dirinya tapi untuk orang lain. Demikian orang-orang Muslim. Akhlaknya baik, ucapannya bagus, orang bisa mengambil manfaat, dia bukan hanya memberi manfaat untuk dirinya tapi juga untuk orang lain.
Disebutkan dalam surat Ibrahim:
..مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ ﴿٢٤﴾
“..perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,” (QS. Ibrahim[14]: 24)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan perumpamaan. Memang demikian, seorang mukmin itu pokok imannya kuat dan kokoh berdiri di atas bumi. Tauhid, ketakwaannya, keimanannya kokoh diatas Al-Kitab wa Sunnah.
Maka diatas tauhid inilah kemudian muncul berbagai macam amal. Shalat, zakat, puasa, haji, demikian pula berbagai macam cabang-cabang keimanan yang lainnya.
Faidah hadits
Pertama, diantara tata cara ta’lim (mengajar) yaitu soal jawab. Dimana seorang guru bertanya kepada apa murid. Dan biasanya kalau dengan cara seperti ini ilmu akan lebih kokoh dihafalan. Dibandingkan dengan hanya mendengarkan ceramah.
Kedua, hadits ini menunjukkan akan bolehnya memberikan perumpamaan. Al-Qur’an juga seringkali memberikan perumpamaan dan memberikan perumpamaan itu lebih mudah dipahami biasanya. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّـهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا…
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu…” (QS. Al-Baqarah[2]: 26)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan perumpamaan bahwa muslim itu seperti pohon kurma. Maka dengan cara seperti itu akan semakin memudahkan untuk memahami sifat seorang muslim. Dalam riwayat Imam Ahmad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa muslim itu perumpamaannya seperti lebah. Kenapa? Kata Rasulullah bahwa lebah makanannya bagus dan mengeluarkan sesuatu yang bagus. Demikian pula muslim. Muslim itu makanannya halal, bagus, dan yang dia keluarkan dari ucapannya pun juga bagus dan bermanfaat. Lebah itu cerdas, dia kalau melakukan satu kesalahan tidak akan ulangi lagi. Muslim juga seperti itu. Dan banyak lagi perumpamaan-perumpamaan yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebutkan tentang perumpamaan seorang muslim.
Ketiga, hendaknya seorang yang lebih muda itu menghormati yang lebih tua. Dari mana kita petik? Di sini Abdullah bin ‘Umar, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wasallam bertanya, Abdullah bin ‘Umar sudah tahu jawabannya. Tapi gara-gara melihat Abu Bakar dan ‘Umar tidak menjawab, maka Ibnu ‘Umar tidak berani menjawab.
Maka dari itulah menjadi sebuah kebiasaan para ulama, kalau mereka berkumpul di suatu majelis ada yang tua ada yang muda kemudian ada yang bertanya, maka diserahkan yang kepada yang lebih tua dulu. ulama yang lebih tua yang berhak untuk apa menjawab.
Keempat, sifat malu adalah sesuatu yang bagus. Tapi ingat, jangan sampai sifat malu itu menyebabkan kita terluput dari maslahat. Ini salah. Antum misalnya mau belajar Tahsin, tajwid, karena sudah tua malu. Gara-gara malu akhirnya kita tidak mau belajar. Mendingan malu sebentar daripada dosa.
Makanya kata Al-Hasan Al-Bashri, ada dua orang yang tidak bisa menuntut ilmu. Yang satu orang sombong, yang satu orang pemalu. Dalam masalah ilmu, jangan malu. Kata ‘Aisyah memuji wanita-wanita Anshar, “Sebaik-baik wanita itu, wanita Ansor. Rasa malu mereka tidak mencegah mereka untuk bertanya dalam perkara yang mereka butuhkan dalam agama mereka.”
Kelima, majelis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan majelis yang diisi banyak gelak ketawa. Tapi betul-betul isinya ilmu. Dan memang majelis taklim yang harus kita cari adalah yang seperti itu. Majelis taklim yang menambah ilmu, menambah rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan majelis taklim yang isinya hanya tertawa. Bahkan terkadang kita lihat di masyarakat kita kalau mengundang ustadz, ternyata yang diundang yang dari awal sampai akhir ketawa saja. Kenapa? Karena mereka menganggap ceramah itu seperti hiburan biasa. Padahal tujuan majelis taklim adalah mengajarkan ilmu. Tujuan majelis taklim adalah agar menambah rasa takut kepada Allah.
Kalau misalnya majelis taklim isinya banyak tertawa, sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Janganlah banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)
Keenam, hadits ini juga menunjukkan adanya qiyas. Karena perumpamaan termasuk salah satu jenis daripada qiyas. Dan Jumhur Ulama menyatakan bahwa qiyas itu salah satu dalil syariat.
Namun tentunya kata Imam Syafi’i, qiyas boleh dipakai kalau sudah tidak ada dalil. Selama masih ada dalil nash, qiyas wajib mundur. Salah besar kalau ada orang belum apa-apa sudah pakai qiyas. Kata Imam Ahmad bahwa qiyas sama dengan bangkai. Bangkai kapan boleh dimakan? Saat darurat. Kalau sudah tidak ada makanan lagi, sudah berusaha untuk cari makan namun tidak ada. Adanya hanya yang haram, maka pada waktu itu boleh.
Demikian pula qiyas, selama masih ada nash, dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka qiyas jangan dipakai dulu.
Cuma terjadi perselisihan para ulama, mana yang lebih kuat “pendapat Sahabat atau qiyas”. Kalau misalnya terjadi pertentangan pendapat, yang shahih pendapat Sahabat lebih kuat. Tapi itu pendapat Sahabat yang tidak diselisihi oleh Sahabat yang lainnya. Berbeda kalau para Sahabat berselisih.
Ketujuh, hadits ini menunjukkan juga bolehnya seorang ayah merasa senang dengan anaknya yang pintar, yang cerdas, yang bisa jawab ilmu, paham. Kalau kita punya anak, MasyaAllah pintar, bisa menjawab pertanyaan ustadznya dan yang lainnya, kita merasa senang. Umar berkata, “Sungguh kata Umar kalau kamu waktu itu menjawab lebih aku sukai daripada ini dan itu.” Maka yang seperti ini kegembiraan yang sifatnya manusiawi.
Simak penjelasannya pada menit ke – 25:58
Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download MP3 Kajian Tentang Keutamaan Seorang Muslim Seperti Pohon Kurma – Al-Jam’u Baina As-Sahihain
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46444-keutamaan-seorang-muslim-seperti-pohon-kurma/